Revolusi Industri 4.0 Sistem Ekonomi Negara Kapitalis
Oleh: Slamet Rianto
Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Pemerintah saat ini terus
membahas soal industri generasi ke-empat atau industri 4.0. Bahkan, Presiden
Joko Widodo (Jokowi) juga telah meresmikan peta jalan atau roadmap yang disebut
Making Indonesia 4.0. Menteri Perindustrian Airlangga Hartato pun menjelaskan
apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0 serta tujuan dari adanya
industri tersebut. Dalam penjelasannya, Airlangga menceritakan di balik hadirnya
Industri 4.0 tersebut ialah kebijakan ekonomi masyarakat Indonesia dalam sistem
produksi maupun menciptakan barang yang sekiranya bisa dijadikan komoditas
dengan mengunakan teknologi yang telah maju di era abat ini dalam segi kegiatan
perekonomian di Indonesia.
Revolusi industri yang
berusaha diadopsi negara Indonesia dari perkembangan teori ekonomi
negara-negara eropa yang saat ini sudah menjadi negara maju dengan menerapkan
perkembangan teknologi sebagai alat penunjang sistem perekonomian mereka.
Sistem ekonomi industri dinegara-negara barat yang biasanya mengunakan sistem
ekonomi kapitalis. Penerapan sistem ekonomi industri 4.0 ini terkesan belum
mateng dan terkesan bentuk pelangaran pemerintah yang secara tidak langsung
mengaminin sistem ekonomi kapitalis di negara Indonesia, padahal secara
geografis negara kesatuhan republik Indonesia tidak sepenuhnya adalah negara
industri seperti Amerika, Ingris, Francis dan Rusia maupun seperti dikota-kota
besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung yang mayoritas geografi
perekonomian kotanya bersumber dari penindustrian, tapi Indonesia melainkan
negara agraria dan maritim yang mayoritas penduduk masyarakatnya mencari
penghasilan ekonomi mejadi petani dan nelayan sampai saat ini perkembangan
sistem produksi mengunakan mesin-mesin industri dan teknologi cangih masih
digunakan dikota-kota yang sekiranya secara kapital perekonomian lebih tinggi
di Indonesia. Apakah sistem ekonomi yang istilah internasional sebagai sistem
ekonomi revolusi industri 4.0 yang sebelumya revolusi industri 3.0 dimunculkan
pada tahun 90 an.
Bahkan, apabila serius
dilihat dari perspektif kelas pekerja buruh (proletar) kalau kita lihat
diperekonomian kota-kota besar industri seperti Jakarta, Bandung dan surabaya,
apakah penerapanya akan sesuai dengan espestasi yang diinginkan pemerintahan
yang mengaminin sistem ekonomi revolusi industri 4.0 ini. Bila penerapan sistem
revolusi industri ini dibahas dalam sistem produksi antara buruh (proletar)
atau istilahnya tenaga kerja dengan pemilik perusahan akan semakin berkesan
dalam tatanan sosial hablum minanas di Indonesia kususnya dikota-kota besar
semakin parah lagi: ratapan dan celaan bahwa revolusi industri ke 4 adalah
mengkhawatirkan karena mengancam pekerjaan rakyat pekerja di Indonesia, sedikit
banyak, mengandung bias borjuasi. Bagaimana tidak, bukankah asumsi ini
menormalkan kenyataan bahwa ‘kerja’ adalah selalu melemparkan diri ke rezim
upahan yang pada hakikatnya adalah kapitalistik, dan seolah tidak ada konsepsi
kerja lain yang di luar relasi buruh dan modal? Rezim upahan adalah
sesuatu yang dilazimkan dan sama sekali tidak dipermasalahkan di sini; begitu
pula etos kerja kapitalis yang menjadi moralitas universal yang tak
terbantahkan jika memang akan diterapkan di negara Indonesia.
Kasihan Karl Marx sudah
jauh-jauh hari ia memperingatkan bahwa adalah relasi upah yang menjadi alat
untuk menata masyarakat ke dalam kelas (borjuis dan proletar). Begitu pula
Silvia Federici dan para feminis WfH (Wages for Housework) yang sejak
puluhan tahun lalu sudah menunjukkan bahwa mengukur kerja dengan upah adalah
upaya kapitalisme untuk menyembunyikan dan bahkan mengeksploitasi lebih jauh
kerja-kerja domestik dan reproduktif yang umumnya tak berupah.
Tapi baiklah inilah fungsi sebuah negara terhadap
kebijakanya, mungkin dalam kebijakan rezim Jokowi ini juga ada dampaknya tapi
bagi orang-orang tertentu yang pastinya pemilik modal yang ada di Indonesia
maupun di luar negeri yang mau menanamkan sahamnya di negara yang sudah
menganut ekonomi pasar bebas ini. Dalam teori sebuah negara: Negara diciptakan
untuk membendung kepentingan orang-orang maupun kelompok yang berbeda yang sengaja
dibendung, maka dari pada itu diciptakanlah negara untuk menyetarakan atas kepentingan
seluruh warga negaranya lewat kebijkan pemerintah, tapi Karl Marx menambahkanya
bahawa kepentingan kebijakan negara tersebut sebenarnya diperuntuhkan untuk beberapa
orang atau golongan yang mayoritas dinegara tersebut, ucap Karl Marx. Mungkin
kebijakan pemerintah terhadap sistem ekonomi revolusi industri ini terhadap
pekerja kuantitas jam kerja mereka semakin meningkat dan relasi kerja yang
makin rentan (precarious) gara-gara digitalisasi dan otomasi telah
merampas waktu baca kita sehingga peringatan-peringatan ini lewat kita baca.
Namun tetap saja, seruan dan tuntutan normatif di atas tidak akan membawa kita,
kelas pekerja, kemana-mana. Karena dengan kerangka berfikir birokrasi
keborjuis-borjuisan seperti ini, kemanapun kita melangkah tetap saja akan meniscayakan
“mutasi” teknologi industri, dan bahwa teknologi adalah selalu “milik”
kapitalisme. Kita perlu agenda baru kelas pekerja terhadap mutasi teknologi
ini; dan untuknya, kita juga perlu memiliki paradigma dan bahkan relasi baru
dengan teknologi “kapitalis” ini. Akan tetapi, otomatisasi yang terjadi akan
mereduksi peran manusia dalam proses ekonomi. Penggunaan manusia sebagai tenaga
kerja akan digantikan oleh robot ataupun perangkat mesin yang lain dan alasan
efisiensi bisa dijadikan acuan dalam menerapkan kebijakan ini. Dan ini akan
mengakibatkan pengangguran bertambah di negara berkembang seperti Indonesia ini
dan juga ketimpangan sosial melebar.
Sekarang yang menjadi pertanyaan terpenting adalah
"Apakah Indonesia siap menghadapi revolusi industri 4.0?" Will see!
#HidupMahasiswa
#Revolusi Industri4.0=Indonesia?
Komentar
Posting Komentar