Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya
Dalam rangka Peringatan Lustrum I Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” dengan rasa kebanggan revolusioner kami sajikan buku kecil Aliarcham (Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya), sebuah tulisan yang kami terima sebagai sumbangan dari luar – dari Lembaga Sejarah PKI.
Nama Aliarcham yang telah menjiwai dan menghias Akademi kami adalah nama salah seorang perintis kemerdekaan nasional Indonesia, pejuang dan pendiri PKI yang terkenal, teguh serta seorang pahlawan nasional dan juga pahlawan proletar yang telah tewas di tempat pembuangan Digul, karena kegigihannya melawan kolonialisme Belanda. Aliarcham adalah tokoh tipikal yang mewakili angkatan Komunis Indonesia ketika itu.
Bukan orang lain kecuali Presiden Sukarno sendiri yang sering mengetengahkan kepada massa Rakyat tentang kepahlawanan Aliarcham dengan antara lain mensitir sebagian sajak yang pernah tercantum di makamnya yang terjemahannya dikenal sebagai berikut: “Obor yang dinyalakan di malam gelap gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian”.
Kami yakin bahwa penerbitan buku kecil Aliarcham ini tidak hanya akan disambut dengan hangat oleh para mahasiswa Akademi “Aliarcham” dan para kader revolusi lainnya, tetapi juga akan bermanfaat bagi setiap patriot lainnya.
Dengan pernyataan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Sejarah PKI kami mengharap kepada para pembaca untuk memberikan kesan-kesan serta pendapat-pendapat bagi penyempurnaan penulisan buku kecil Aliarcham ini lebih lanjut.
Penerbit
Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”
Jakarta, 1 Agustus 1964.
MASA MUDA
Aliarcham dilahirkan pada tahun 1901 di Asemlegi, kawedanan Juwana, kabupaten Pati, daerah Semarang. Orangtuanya seorang penghulu dan pemuka agama Islam yang terkemuka di daerah tersebut. Ia mendidik anaknya agar dapat mengikuti jejak penghudupan ayahnya di kemudian hari, dengan memasukkannya ke pesantren. Di samping itu kedudukannya yang terkemuka ini memungkinkan baginya untuk memasukkan anaknya bersekolah pada HollandsInlandseSchool (H. I. S. suatu sekolah dasar 7 tahun yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar). Belum banyak yang dapat diketahui tentang masa kecilnya ini, kecuali keterangan bahwa ia menempuh sekolahnya hanya dengan memakan waktu 6 tahun dan di dalam kelasnya ia selalu merupakan murid yang terpandai dan paling rajin.
Dari guru-guru agamanya, ia menerima ajaran-ajaran Saminisme tentang persamaan dan persaudaraan manusia, tentang gotong-royong dan tiada penindasan, tentang membenci dan melawan penjajah Belanda. Saminisme adalah suatu ajaran kebatinan dengan cita-cita Sosialisme spontan. Pemimpinnya sendiri kiyai Samin alias Sorontiko seorang petani dari Blora yang memulai gerakan kebatinan ini pada tahun 1887, telah ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1907 dan di buang ke Sawahlunto Sumatera, dan meninggal di sini pada tahun 1914. Pada awal abad ke –XX Saminisme sangat besar pengaruhnya di daerah Pati. Pada tahun-tahun belasan ternyata masih sangat besar cita-cita pengaruhnya bahkan sampai menimbulkan pemberontakan bersenjata 1917 di Rembang. Ketika pemberontakan ini terjadi, Aliarcham sudah menduduki sekolah Kweekschool voor Inlands Onderwijs (Sekolah guru bumiputera) di Ungaran. Ia sangat tertarik pada peristiwa ini dan teringat kembali pada pembicaraan-pembicaraan yang didengarnya dari salah seorang teman ayahnya tentang ajaran-ajaran Kiyai Samin. Ia pelajari keadaan ini dan mengetahui bahwa perlawanan kaum tani Rembang tersebut disebabkan oleh adanya peraturan-peraturan kenaikan pajak bumi baru, larangan pengambilan kayu hutan, pembayaran uang pengganti kewajiban heerendienst (kerja rodi), keharusan menjual ternak, dan sebagainya. Pemberontakan ini sangat memberikan pengaruh pada jiwa Aliarcham dan mendidiknya untuk membenci penjajahan Belanda.
Aliarcham sejak ini mulai gemar membaca suratkabar-suratkabar dan majalah-majalah, istimewa yang berisi perlawanan terhadap penjajahan seperti Sinar Hindia yang kemudian berubah menjadi Api, yang membawakan suara Sarekat Islam Merah. Suara Rakyat yang membawakan suara ISDV (Indische Sociaal Demokratische Vereniging = Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia), Het Vrije Woord juga membawakan suara ISDV, de Express suara kaum Nasionalis radikal yang dipimpin oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo dan majalah-majalah organisasi buruh lainnya. Dari pembacaan-pembacaan ini ia mulai berkenalan dengan Sosialisme ilmiah yang dipropagandakan oleh ISDV yang memusatkan kegiatannya di Semarang. Ia mencatatkan dirinya sebagai anggota Sarekat Islam Salatiga yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Dengan perantaraan Prapto salah seorang pemimpin SI Merah, Aliarcham berkenalan dengan pemimpin-pemimpin SI dan ISDV seperti Semaun, Sneevliet, Dengah, Sukendar, dan lain-lain. Melalui Marxis-marxis terkemuka pada waktu itu, ia dapat membaca dan mempelajari lebih jauh tentang ilmu Sosialisme. Ia berkenalan dengan Manifes Partai Komunis dan lain-lain tulisan pemimpin-pemimpin Partai Sosial Demokratis (SDP) Belanda yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Nederland (CPN). Aliarcham mulai mengetahui bahwa pemimpin-pemimpin ISDV yang berkebangsaan Belanda seperti Sneevliet, Bergsma, van Burink, dan sebagainya adalah internasionalis-internasionalis yang dengan kesungguhan hati memihak perjuangan Rakyat Indonesia terhadap penindasan penjajah Belanda. Ia mulai melihat bahwa ada 2 macam Belanda, satu penindas dan yang lain menentang penindasan.
Masa sekolah Aliarcham di sekolah Guru Bumiputera adalah masa terjadinya kesulitan-kesulitan ekonomi di Indonesia sebagai akibat perang dunia pertama. Secara langsung pemerintah Belanda tidak terlibat dalam peperangan ini, tetapi secara tak langsung ia juga menerima akibat-akibat dan pengaruhnya. Politik penaikan pajak, pembelian dan pengumpulan padi rakyat secara paksa dengan harga murah, wajib kerja rodi, wajib milisi untuk membela kerajaan Belanda, telah mendorong tumbuhnya pemberontakan-pemberontakan rakyat di banyak tempat di Indonesia, seperti pemberontakan tani di bawah pimpinan Haji Hasan di Cimareme, Garut tahun 1917, pemberontakan Kelambit di Jambi tahun 1917, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang tahun 1918, pemberontakan tani di Pontianak Kalimantan Barat tahun 1918, pemberontakan tani di Ternate tahun 1918. Revolusi Sosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia telah memberikan pengaruh yang sangat besar kepada perjuangan Rakyat Indonesia. Suratkabar dan majalah-majalah revolusioner memuat peristiwa ini dengan kehangatan sambutan yang luar biasa. Semua peristiwa ini diikuti dan sangat mempengaruhi pikiran dan jiwa Aliarcham yang telah dijaluri oleh semangat revolusioner. Situasi ini sering dibicarakannya dengan teman-temannya sesekolah, tetapi di samping itu pelajaran sekolahnya tetap ditempuhnya dengan baik. Di antara teman-temannya ada yang menjauhinya karena takut terlibat dengan soal-soal politik. ada yang menasehatinya supaya hanya memikirkan pelajaran saja dulu dan sedikit ada yang mengaguminya sebagai seseorang yang berbakat dan mempunyai kecerdasan otak yang tajam. Tetapi semua temannya menganggap Aliarcham sebagai sahabatnya yang baik dan jujur serta dipercaya, karena ia selainnya seseorang yang bersifat sederhana, juga selalu mempunyai kesediaan untuk membantu teman-temannya yang terbelakang dalam pelajarannya.
Aliarcham sangat mengagumi Sneevliet, salah seorang sosial-demokrat revolusioner Belanda dan pemimpin ISDV yang terkemuka. Pembelaaan Sneevliet di muka pengadilan negeri Semarang November 1917 yang dituduh menghasut rakyat Indonesia memberontak melawan penjajahan Belanda dalam tulisannya menyambut Revolusi Februari Rusia 1917 – pembelaan mana setelah dibukukan setebal hampir 300 halaman yang isinya menggugat imperialisme Belanda – dipelajari oleh Aliarcham dengan teliti dan penuh minat. Dan buku ini sangat membantunya untuk mengenal keadaan Indonesia dari sudut pandangan klas buruh.
Ketika PKI lahir 23 Mei 1920 sebagai kelanjutan dari ISDV, Aliarcham sudah menduduki bangku pendidikan Sekolah Guru Atas (Hogere Kweekschool) di Purworejo. Perjuangan massa revolusioner yang meningkat cepat di bawah pimpinan proletariat, yang dicerminkan oleh tulisan-tulisan di suratkabar-suratkabar yang semakin radikal menentang penjajahan, pemogokan-pemogokan serikat buruh, demonstrasi-demonstrasi massa, rapat umum-rapat umum massa, pemboikotan-pemboikotan radikal terhadap parayaan-perayaan resmi pemerintah, dan sebagainya telah sangat mempengaruhi dan membakar semangat perlawanan Aliarcham. Ia melihat “sorga kehidupan” dalam perjuangan massa yang heroik. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah ia mulai bertindak radikal terhadap gurunya yang berkebangsaan Belanda. Ia berani mengadakan perdebatan dengan gurunya dalam hal mata pelajaran sejarah, tetapi ia tetap seorang murid yang terpandai dalam kelasnya, istimewa dalam mata pelajaran aljabar. Seringkali ia diperingatkan oleh gurunya agar menghentikan ke”bandel”annya dan kegiatan politiknya, tetapi tidak diperdulikan olehnya. Tahun 1921 ia mencatatkan diri sebagai anggota PKI, disampingnya ia masih terus menjadi anggota SI Merah. Ia sangat menyetujui kritik-kritik yang diberikan di suratkabar-suratkabar terhadap kelemahan dan kesalahan-kesalahan politik yang dijalankan oleh golongan kanan SI. Kritik-kritik ini disebarkannya kepada teman-teman sekolahnya, di samping itu ia menyebarkan fikiran-fikiran proletariat. Ia mendidikkan kepada teman-temannya supaya membenci sikap yang menghinakan diri, membungkuk-bungkuk kepada atasan dan kepada Belanda. Ia sendiri memberi contoh kepada teman-temannya. Ketika akan memasuki ruangan sekolah, selainnya ucapan salam, ia tidak mau membungkuk-bungkuk. Ketika ia sudah dekat akan menempuh ujian terakhir, ia diancam oleh gurunya supaya meninggalkan segala kegiatan propaganda politiknya dan kalau kegiatan-kegiatan itu tidak dihentikannya maka dia akan diberhentikan dan tidak dibolehkan mengikuti ujian. Teman-teman sekolahnya menganjurkan agar dia menghentikan kegiatannya dulu untuk dapat menempuh ujian terakhir. Tetapi Aliarcham melawan ancaman ini dan jiwanya memberontak terhadap penghinaan yang dihamburkan gurunya atas perjuangan Rakyat Indonesia, yang dikatakannya pekerjaan orang-orang bodoh, buta huruf dan pengacau-pengacau ketenteraman masyarakat dan keamanan pemerintah. Ia menahan kemarahan hatinya. Suatu ketika ia dipanggil dan “dinasehati” oleh guru-kepalanya. Untuk kedua kalinya didengarnya lagi ancaman dan penghinaan serta ejekan yang dilemparkan terhadap perjuangan Rakyat dan nama beberapa pemimpin rakyat, ia menahan kegeramannya dan tidak berkata sepatah katapun. Dan ketika akan meninggalkan ruangan, pintu dihempaskannya menutupnya. Guru kepala kaget, marah, memanggilnya kembali dan berkata, bahwa mulai hari tersebut Aliarcham dikeluarkan dari sekolah. Aliarcham menyambut putusan itu dengan tenang dan dengan ketetapan hati yang teguh ia berkata: “Tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda”. Berhenti dari sekolah Aliarcham terus menuju ke Semarang, ke kantor Penguru Besar PKI dan SI Merah untuk memulai penghidupannya yang baru.
MASA DALAM PERGERAKAN REVOLUSIONER, 1922-1925
Aliarcham diusir dari sekolah oleh gurunya pada tahun 1922. Ia memulai pekerjaan politiknya dan menyatukan dirinya dengan perjuangan rakyat. Ia mulai aktif memberikan pendidikan Marxisme di kalangan anggota-anggota PKI dan SI Merah. Sebagai seorang yang mempunyai pendidikan guru ia pun mencurahkan perhatian yang besar di lapangan ini. Dan sebagai seorang intelektuil, ia sangat membenci kaum intelektual yang tidak mau tahu dan bermasa bodoh terhadap nasib rakyat dan bangsanya yang dihina oleh penjajahan. “Kaum intelektual Indonesia hendaknya merasa malu kepada intelektual kelas buruh Belanda seperti Sneevliet yang berjuang untuk kemuliaan rakyat Indonesia”, demikian kata-katanya yang seringkali diulanginya kepada kaum intelektual. Sebagai seorang yang pernah mendapatkan pendidikan pesantren Islam di masa kecilnya, bahkan pernah memahamkan ajaran-ajaran kebatinan “Persamaan dan gotong-royong” dari Saminisme, kini sesudah ia mendapatkan pengetahuan tentang Sosialisme ilmiah, ia mulai membenci pemimpin-pemimpin yang berkedok agama tapi melakukan politik kolaborasi dengan pemerintahan jajahan untuk mendapatkan kursi Volksraad. Ketika pertentangan antara SI Putih dan SI Merah dalam SI semakin mendalam dan bertambah tajam dalam menentukan garis perjuangan yang harus dilakukan terhadap penjajahan Belanda dan sesudah kongres SI tahun 1922 melakukan “Partai disiplin” terhadap anggota-anggotanya yang memasuki PKI, maka Aliarcham dalam satu konferensi gabungan PKI dan SI Merah bulan Maret 1923 di Bandung, mengusulkan agar nama SI Merah dirubah menjadi Sarekat Rakyat, dengan tujuan untuk dapat menarik garis pemisah yang tegas antara yang putih dengan yang merah. Usulnya ini diterima dengan suara bulat. Sejak ini Sarekat Rakyat atau yang lebih dikenal dengan singkatan SR saja, dengan cepat tersebar terutama di seluruh Jawa. SR sangat cepat populer di kalangan rakyat dan ia segera mendapatkan karakter massanya yang luas. Konferensi Maret 1923 ini memilih Aliarcham sebagai ketuanya dan pribadinya segera menjadi tokoh yang menjiwai kehidupan SR selanjutya, Konferensi Bandung ini sangat penting artinya bagi perkembangan politik Aliarcham, di sini ia memajukan beberapa pikiran antara lain sebagai berikut:
“Ada kaum intelektual yang tidak suka campur dengan pergerakan kita karena merasa malu, tetapi mereka juga akan berhubungan dengan pihak sana juga tidak laku, paling-paling jadi orang suruhan. Jadinya lalu berdiri jadi kelas menengah. Tapi kita kaum intelektual proletar berjuang untuk mendirikan kultur baru, dimana tidak terjadi orang minum darah orang lain. Dari sekarang pendidikan harus dimulai dari sekolah rendahan. Kita harus banyak membangun sekolah untuk anak-anak rakyat kita. Di sekolah ini bukannya mengajar orang takut sama pemerintah tapi mendidik rasa merdeka dan rasa berkumpul dan nafsu berjuang melawan pemerintahan”.
(sk, “Sinar Hindia” 28-3-1923)
Tahun 1923 adalah tahun mulai pasang naiknya perjuangan revolusioner rakyat Indonesia, dicirii oleh pemogokan-pemogokan besar buruh kereta api bulan Mei, yang disertai oleh penangkapan-penangkapan besar atas pemimpin-pemimpin buruh berdasarkan art. 161 bis yang melarang pemogokan dan sangat mengekang kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Di samping pemogokan terjadi pula pelemparan-pelemparan granat ke rumah pembesar-pembesar Belanda dan pemboikotan terhadap perayaan-perayaan resmi pemerintah yang memuliakan kerajaan. Atas bermacam-macam peristiwa ini, pemerintah kolonial mencurigai pemimpin-pemimpin PKI dan SR sebagai biang-keladinya. Banyak yang ditangkapi antara lain K. H. Misbach.
Aliarcham, yang sejak keluarnya dari sekolah selalu diikuti sepak-terjangnya, tidak lepas dari kecurigaan pemerintah, tetapi untuk menangkapnya pemerintah ketiadaan alasan dan bukti. Dan ini baru diperdapatnya, ketika Aliarcham dikenakan pelanggaran bicara dalam satu rapat umum SR di Semarang tanggal 7 Oktober 1923. Semula, dalam bulan Mei Aliarcham sudah akan ditangkap karena kegiatannya berpropaganda dan mengorganisasi secara rahasia persiapan pemogokan buruh kereta api di daerah Jawa Timur yang dipusatkan di Surabaya, tetapi tidak jadi dilaksanakan. Sesudah rapat umum Semarang tersebut di atas, ia ditangkap pada tanggal 20 Oktober 1923. Tuduhan yang dijatuhkan kepadanya adalah melakukan penghinaan terhadap alat-alat negara pamongpraja yang melakukan tugasnya. Dalam rapat umum itu Aliarcham mengatakan:
“Pergerakan buruh tidak dibikin-bikin tetapi timbul sendiri dari penindasan. Pihak reaksi berkata, yang orang Jawa bodoh dan sabar hati. Sesuka Belanda menghina kita dan dipandang kita seperti binatang yang menurut saja buat dikerjakan. Dimana ada penindasan di situ timbul satu pergerakan yang hendak menghilangkan penindasan itu. Kemajuan kapitalisme menimbulkan pergerakannya ISDV yang sekarang berganti nama menjadi PKI, yaitu perhimpunan yang melawan kapitalisme. Sedang Budi Utomo menuntut baiknya pelajaran saja tapi apa gunanya pelajaran jika perut kosong?
“Bom-boman yang terjadi itulah buahnya hati panas. Orang yang mengebom Gouverneur General Fock tentu mempunyai sebab, karena merasa terjepit. Pada pesta raja di Semarang terjadi juga pelemparan bom, pertanda telah timbul keberanian di dada orang, menyatakan kemarahannya dan protes atas pesta yang diadakan waktu kemiskinan rakyat itu.
Kita memberi ingat bahwa kaum buruh tidak bisa dirintangi kemajuannya dan nasib yang jelek membawa dia ke kemajuan. Kaum ambtenaar tidak meraportkan keadaan rakyat yang sesungguhnya. Ia takut kalau keadaan rakyat dinyatakan jelek, ia tidak dapat mendapatkan kenaikan pangkat. Kaum priyayi kita namakan TOGOG. Yang harus memperbaikkan penghidupan rakyat harus rakyat sendiri. Untuk ini perlu kemerdekaan. Kalau musuh bisa menahan angin, mereka baru bisa bikin mati pergerakan kita.
(sk “Sinar Hindia” 8-10-1923)
Dalam tahanan Aliarcham bertemu dengan kawan-kawannya yang telah terlebih dahulu ditangkap karena pelanggaran atas artikel 161 bis, yang dikeluarkan pada bulan Januari 1922, yaitu Budisucitro, Partondo, Ambiyah, Suradi, Samsi, Sumantri, Sundoro, Rabijah, Ngadino, Brotosewoyo dll. Di beberapa tempat lainnya di Indonesia, di Solo, Semarang, Padang Panjang dan Bukittinggi, pemerintah Belanda juga telah melakukan penangkapan-penangkapan antara lain terhadap Haji Misbach, Marsudi, Haji Dt. Batuah, Natar Zainuddin, Dengah, Gondoyuwono, dan sebagainya. Di luar penjara, kawan-kawan separtai terus mengadakan gerakan solidaritet uang buat membantu para keluarga yang ditinggalkan.
Tanggal 28 Maret 1924 pengadilan negeri Semarang yang pada bulan November tahun 1917 juga telah mengadili Sneevliet, telah menjatuhkan hukuman penjara 4 bulan kepada Aliarcham. Dalam jalannya sidang pengadilan terjadi soal jawab yang hangat antara pesakitan dengan ketua pengadilan. Alaiarcham dapat menangkis tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa dia adalah biang keladi pemogokan, penggranatan, dan pemboikotan perayaan resmi pemerintah. Dengan kepala yang tegak dan dengan suara yang meyakinkan, ia mengatakan bahwa sumber dari segala pemogokan, penggranatan, pemboikotan, tulisan-tulisan yang keras di suratkabar-suratkabar dan lain-lain tindakan perlawanan rakyat, adalah pemerintah jajahan Belanda yang telah mendatangkan kemelaratan dan kepapaan kepada rakyat Indonesia. “Penjajahan harus diganti dengan kemerdekaan sekarang juga”, demikian Aliarcham menegaskan. Polisi berkali-kali mengetok meja, tapi Aliarcham tidak memperdulikannya, dan dia meneruskan pembicaraannya. Ketika menjawab pertanyaan Ketua pengadilan apakah dia memerlukan pembela dan saksi Aliarcham menjawab: “Saya tidak memerlukan pembela dan saksi. Saya akan membela diri saya sendiri dan saksi saya adalah rakyat yang mengikuti sidang ini”. Jaksa akhirnya mengejar Aliarcham dari satu pasal pidana saja, yaitu telah melakukan penghinaan kepada alat-alat negara yang menjalankan pekerjaannya, yaitu para priyayi yang dikatakan sebagai togog.
Di bawah ini dikutipkan catatan singkat jalannya sidang pengadilan yang disiarkan oleh sk. “Sinar Hindia” 29-3-1924 sebagai berikut:
Aliarcham : Umumnya priyayi bodoh.
Voorzitter : Apa itu tidak menghina?
Aliarcham : Tidak. Itu gandengnya kata togog, yaitu yang dalam wayang digambarkan sifatnya orang yang menjadi budak. Budak itu sekarang dipakai oleh kaum priyayi.
Voorzitter: Apa togog itu penakut yang tak punyai eigeenwaarde (harga diri)?
Aliarcham : Ya.
Pengadilan memutuskan hukuman 4 bulan dan atas putusan ini Aliarcham naik Appel, tetapi Pengadilan Tinggi memutuskan tambahan hukuman menjadi 6 bulan.
Sekeluarnya dari penjara, Aliarcham kembali aktif dalam perjuangan. Pekerjaan baru harus segera diselesaikannya yaitu konggres ke-I
Komentar
Posting Komentar