By: Slamet Rianto, sahabat PMII UM
“Kalian memandang ke atas ketika kalian merindukan pujian: tapi aku justru menunduk ke bawah sebab aku telah ditinggikan.” (Nietzsche)
“Muda atau tua tidak bergantung pada tanggal dalam suatu masa, tapi keadaan jiwa. Tugas kita bukan menambah usia pada kehidupan tapi menambah kehidupan pada usia.” (Myron J Taylor)
"Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu." ( Soe Hok Gie)
Kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter,untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini. (Victor Serge, Bolshevik)
Lihatlah paras muka kalian hari ini. Letih, galau dan patah. Di Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kalian seperti anak muda yang kecapekan. Ukuran foto tiga kali empat itu membuat wajah kalian serupa dengan sampul buku pelajaran. Kusut, masam dan menjemukan. Seolah sekolah itu bukan sebuah petualangan tapi beban yang dipanggul tiap hari. Ukuran keberhasilanya ada pada nilai bukan pada semangat meraih mimpi. Itu mungkin yang menyebabkan sekolah selalu berparas sama: bangku coklat dengan muka pahlawan yang juga letih.
Pangeran Diponegoro tak pernah tersenyum lepas dan RA Kartini berpenampilan sama dari tahun ke tahun. Kita jadi merasa maklum kenapa penjajahan berjalan lama karena para pahlawan dilukis tanpa gairah. Mereka seperti kumpulan manusia sunyi yang merasa menyesal karena tak bisa bertarung habis-habisan. Kampus membuat seluruh peristiwa akbar jadi pentas yang monoton dan sepi dari tragedi. Seorang ulama pernah katakan: Nilai seseorang itu terletak pada cita-citanya.
Jika kamu ingin mengerti dirimu maka sebutkan keinginanmu. Mau jadi apakah dirimu kelak: pegawai yang punya gaji banyak atau petualang yang terus menjelajah ke semua tempat. Hidupmu akan dipertaruhkan untuk membuat nyaman atau terus menerus menari bersama badai. Kalau dunia bergerak dengan kecepatan yang menakjubkan maka kaum terpelajarnya seperti sebilah bangku di terminal: menunggu dan menanti. Nasibnya seperti warna bangunan sekolah: pucat dan menjemukan. Tiap pengalaman belajar seperti sebuah rutinitas yang tidak asyik dan menggugah. Maka tiap kali pertanyaan meletus di hadapanmu: apa yang kamu sukai selama sekolah dulu? Jawabanya selalu mengundang tawa: kalau guru tak masuk, kalau libur dan kalau istirahat. Seolah sekolah itu cerminan halaman bukan ruangan kelas yang padat oleh materi.
Kini kamu jadi MAHASISWA.
Tinggal di kampus yang lebih luas dengan teman yang jauh lebih banyak dan pastinya bermacam-macam. Berada di alam pikiran yang menantang dengan petualangan yang jauh lebih komplit. Tak ada baju seragam, tak ada pelajaran yang sama disemua jurusan yang ada di Kampus dan yang lebih penting lagi: tak ada ujian nasional. Inilah masa dimana kamu diajak untuk mengolah mimpi dengan semangat untuk meraih prestasi. Tidak hanya sejumput nilai tapi juga pengalaman "berorganisasi". Nilai mungkin perlu untuk diraih tapi itu tak membuat kamu memegang kunci masa depan. Masih ada bekal lain yang kamu butuhkan: pengalaman dalam organisasi diantaranya. Kampus bukan tempat dimana lembaga Osis dan Pramuka beroperasi. Kampus juga memiliki Badan Eksekutif Mahasiwa, Pers Mahasiswa, Pecinta Alam dll. Singkatnya kampus punya pekarangan yang dihuni oleh para petualang yang punya mimpi besar mengenai masa depan. Mereka adalah orang yang menganggap hidup adalah rencana menanam mimpi dan pejuangan meraihnya. Hidup bukan pertarungan apalagi lomba.
Dalam kutipan buku Catatan seorang demonstran Soe Hok Gie mengatakan " Pilihan manusia itu ada dua menjadi manusia apatis atau mengikuti arus tapi aku memilih menjadi manusia yang merdeka". Istilah merdeka identik dengan liberal karena Che Guevara mengatakan "Saya bukanlah seorang liberator. Liberator itu tidak eksis. Orang-orang membebaskan diri sendiri karena kebebasan yang hakiki bagi manusia adalah berserikat yang memerdekakan makan kesempatan menjadi mahasiswa sekaligus menjadi bagian dari serikat mahasiswa di kampus adalah sebuah pilihan.
Kampus adalah sebuah wahana tempat bermain, begitu banyak wahana bermain yang tersedia di kampus bagi mahasiswa salah satunya adalah organisasi mahasiswa dan tak kecuali Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebuah organisasi pengantar mahasiswa dalam tatanan identitas mahasiswa Indonesia Pancasila yang berlandaskan agama Islam Ahlusunnah waljamaah (Aswaja). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau lebih akrab dengan sebutan PMII adalah sebuah organisasi mahasiswa yang dibentuk pada tanggal 17 April 1960 di Kota Surabaya Indonesia, pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia lahir dari keresahan mahasiswa Islam yang secara tidak langsung juga bagian dari keluarga besar salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama (NU) karena ketidak stabilitas perekonomian dan perpolitikan di Indonesia pada saat itu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dibentuk untuk menjawab tantangan zaman karena salah satu pendiri PMII menyakini pemuda adalah pencipta sejarah mengapa pemuda juga tidak bisa merubah sejarah, oleh karena itu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia hadir dikampus adalah sebuah manifestasi bagi mahasiswa untuk menjadi penerus bangsa dan penegak agama.
Mahasiswa adalah simbol perubahan simbol kemajuan peradaban zaman oleh karena itu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hadir bagaikan rumah bagi mahasiswa untuk menempa diri mereka untuk siap realisasikan kapabilitas nya sebagai mahasiswa dalam menjawab tantangan zaman yang semakin modern dan membentengi mahasiswa agar tetap cinta pada tanah airnya negara Kesatuan repoblik Indonesia (NKRI). Sekarang pilihannya hanya dua bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mari menjadi subjek dari perubahan zaman atau menjadi objek dari perbuatan zaman yang diciptakan orang lain.
Ikhtiar untuk menuju cita-cita mulia itu dapat dirintis dari sekarang: kuliah sambil berorganisasi. Kuliah sembari ber-PMII dan sembari berkarya. Dan kuliah dengan tetap mengenggam harapan atas perubahan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka hingga Moh Natsir memulai masa muda seperti kalian: nekat, imaginatif, pintar dan romantik. Wajah mereka tak jauh dari kalian: sederhana tapi berani. Penampilanya juga mirip dengan kalian: gaya sekaligus nekat. Maka titik persamaan itulah yang semustinya membuat kalian mampu untuk melompat melampaui zaman. Seperti yang dulu mereka lakukan. Kekuatan lompatan itu ada pada visi. Bukan sebuah angan-angan tapi harapan yang dilukiskan dengan keyakinan. Takkan mudah merubuhkan keyakinan jika kita erat memegang harapan. Walt Disney berucap tentang itu:
Di saat kaulambungkan harapanmu setinggi langit
Siapa pun dirimu
Apa pun yang kaudambakan
Pasti akan terwujud
Maka kuucapkan sekali lagi padamu:
Selamat Datang mahasiswa baru.
Selamat Datang dikampus Pergerakan.
Selamat menikmati petualangan.
Jadikan hari-harimu penuh pengalaman bersama sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan buatlah itu sebagai pengalaman yang baru, berkesan dan menyenangkan. Hanya bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kamu bisa membawa mimpimu. Mimpi bukan buat dirimu sendiri tapi mimpi untuk bangsa yang sekarang tak berani lagi unjuk muka. Di hadapan bangsa-bangsa tetangga apalagi bangsa adidaya. Kerahkan semua keyakinan dan tunjukkan bahwa kamu bukan generasi pemalas, konsumtif dan tak peduli. Kamu adalah generasi terbaik yang dilahirkan pada zaman yang kusam. Ubah dan rubuhkan kekuatan apa saja yang meluncurkan keyakinanmu. Ubahlah dirimu, duniamu dan masa depanmu. Hanya dengan cara seperti itulah kamu hadirkan kembali mereka: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka. Pada merekalah kita berhutang masa lalu dan masa depan. Terimakasih dan Salam Pergerakan.
Komentar
Posting Komentar