Selama setidaknya dua dekade terakhir, fenomena Islamofobia telah muncul sebagai fenomena yang cukup menarik di dunia ini. Fenomena ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap agama Islam pada khususnya dan peradaban Timur-Tengah pada umumnya. Fenomena ini banyak terjadi di negara-negara barat (tanpa menutup fakta bahwa hal ini tidak hanya terjadi di negeri barat) sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan diskriminatif.
Bagaimana kaum Marxis menanggapi fenomena ini? Apakah kaum Marxis setuju dengan fenomena Islamofobia ini? Tentu, dalam Marxisme orang dilarang keras untuk menerima atau menolak sebuah teori tanpa menganalisanya terlebih dahulu. Menerima atau menolak seuatu hal tanpa meninjaunya terlebih dahulu sangatlah tidak Marxis. Maka dari itu, untuk menemukan jawaban mengenai posisi Marxis mengenai fenomena Islamofobia ini, kita setidaknya harus menganalisa apa itu Islamofobia dan bagaimana sejarahnya.
MENINJAU ULANG
Secara etimologi Islamofobia berasal dari kata Islam and Phobia. Menurut College Dictionary, phobia adalah sebuah perasaan takut yang tak berdasar, sebuah ketakutan yang tidak masuk akal atas sebuah obyek, aktivitas, atau situasi yang khusus, yang mendorong seseorang untuk keluar atau menjauh dari situasi itu. Dengan demikian, Islamofobia berarti ketakutan yang irasional terhadap Islam sehingga keberadaannya harus dijauhi atau disingkirkan. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim,". Lebih lanjut, Runnymade Trust dalam laporannya berjudul Islamofobia: A Challenge for Us All, menuliskan bahwa Islamofobia adalah ‘sebuah permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam;’ sehingga akhirnya ‘konsekuensi praktis dari ketakutan itu adalah diskriminasi terhadap umat Islam baik sebagai individu dan komunitas, serta…. menyingkirkan umat Islam dari urusan-urusan sosial dan politik yang lebih luas.’
Walaupun istilah "Islamofobia" baru populer di tahun 1980-an, namun sentimen negatif terhadap Islam telah ada sejak lama. Sentimen negatif antara barat terhadap Islam sendiri setidaknya diketahui sejak abad ke-8. Sentimen ini memuncak ketika Paus Urbanus II menyatakan Perang Salib terhadap Turk Seljuk (yang beragama Islam) sebagai reaksi atas penyerangannya terhadap kekaisaran Bizantium. Melihat hal ini, maka sentimen negatif dalam Perang Salib ini bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh perbedaan Teologis. Sentimen ini terutama terjadi karena sengketa teritorial dan politik. Jika sentimen semata-mata dilatarbelakangi oleh perbedaan Teologis, maka pasti Pasukan Salib sendiri tidak akan memiliki sekutu Muslim di Timur-Tengah dan konflik antara sesama Kristiani tidak perlu terjadi sebagaimana yang terjadi pada Perang Salib ke-4. Dalam era Perang Salib ini, sentimen keagamaan digunakan Barat untuk mencapai tujuan politik dan militernya sekaligus.
Sentimen ini terus berlanjut hingga dominasi agama di dunia barat semakin memudar dan ilmu science muncul sebagai aktor baru. Ketika revolusi industri yang membawa kemajuan pesat terhadap Eropa muncul, sentimen ini pun berubah menjadi bentuk superioritas. Barat yang maju dan terdidik dihadapkan dengan Timur yang terbelakang dan bodoh. Dengan munculnya kapitalisme yang ditandai oleh kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, kekuataan militer, dan komunikasi maka klaim superioritas itu semakin menguat.
Hal inilah yang menyebabkan Imperialisme terjadi. Dengan dalil "mewartakan peradaban", negara-negara beradab pergi ke penjuru dunia dan mengkoloninya. Pada masa ini, perampasan imperialis dibenarkan sebagai "tugas orang kulit putih" untuk membawa pencerahan ke "orang liar" Afrika dan Asia.
MENGGUNAKAN PARADIGMA MARXISME
Jika kita melihat akar sejarah dari Islamofobia, maka kita akan mengetahui bahwa penyebab dari sentimen negatif antara 'barat' dengan 'Muslim' bukanlah karena pertentangan teologi, melainkan karena faktor ekonomi (tanpa menutup fakta bahwa pertentangan teologi tetap berperan dalam konflik ini, namun ini bukanlah faktor utama).
Hal ini sesuai seperti yang dikemukakan oleh Marx mengenai teori 'basis dan bangunan atas' dari masyarakat. Seperti yang dituliskan Marx dalam Pendahuluan tentang Kontribusi terhadap Kritik Ekonomi Politik :
"Dalam produksi sosial dari keberadaan mereka, manusia mau tidak mau masuk ke dalam hubungan yang pasti, yang independen dari kehendak mereka, yaitu hubungan produksi yang sesuai dengan tahap tertentu dalam pengembangan kekuatan material produksi mereka. Totalitas dari hubungan-hubungan produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, fondasi nyata, di mana muncul suprastruktur politik dan hukum dan yang sesuai dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka."
Islamofobia sendiri merupakan bentuk lanjut dari sentimen negatif antara barat dengan peradaban Timur-Tengah. Fakta bahwa Islamofobia bukanlah fenomena global menjadikan bukti bahwa Islamofobia hanyalah akal-akalan semata. Islamofobia yang hanya 'laris' di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat menjadikan bukti bahwa Islamofobia adalah produk imperialistik semata. Islamofobia hanyalah legitimasi bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk melakukan invasi ke Timur-Tengah demi menguasai kilang minyak.
KESIMPULAN
Melihat hal ini, maka jelaslah bahwa orang yang mengaimini Islamofobia sebagai suatu hal yang sudah sewajarnya adalah seseorang yang memiliki kedunguan mendalam. Dengan dalil terorisme atau yang lainnya, mereka mencoba membuktikan bahwa Islamofobia adalah baik adanya. Apakah benar demikian? Tentu tidak. Fakta bahwa hampir di semua fenomena konflik antar agama (termasuk fenomena Islamofobia) memiliki basis materi yang riil, yaitu faktor ekonomi, menjadikan rasisme beragama tidak relevan lagi. Perjuangan melawan rasisme beragama (atau lainnya) harus menjadi perjuangan melawan sistem yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Komentar
Posting Komentar